Monday 19 December 2011

Ketika


ketika mimpi terasa memburuk
ada resah menghantui senja
ada takut mengiringi malam
dan ada rindu menjejaki fajar

hati
kasih
perih
tertatih

kian hari ada tanya
kian dijawab tak bertuah
andai kata mampu menghipnotis
tentu dibisikkan aku dengan dusta

tapi hati ada untuk terluka
mata ada untuk berbahagia

by : wiedesignarch |  13 November 2011

Beranjak dan Berubah

Hampir gerah oleh ketidakmengertian... Akhirnya harus memilih menjalani dengan satu kejelasan.. Bumbu yang ada tidak prinsip, melainkan rona yang bisa dibercandakan bersama.

Kosakata mungkin berbilang, bahkan semakin menghilang. Namun dengan kosa ekspresi dan antusias yang makin lantang, aku belajar berdialog dengan hati yang diciptakan untuk menjadi teman dari hatiku kini.

Ketakutan yang pantas disampaikan padaku seharusnya bukan tentang meninggalkan atau menghilangkan, andai ada pun seharusnya adalah ketidakberadaan ungkapan untuk ditanggapi, kealpaan wajah untuk dikenali, atau juga keengganan berkisah untuk diselami.
Kelemahanmu selalu jadi sisi yang menjadikanku harus ada. Kekuatanmu selalu jadi sisi yang menjadikanku berani mencoba.

Bukankah sang agung pun ajarkan kita bijaksana, meraih cita dengan sahaja.
Sementara kecamuk adalah kelemahan, yang harus terlihat pada pihak yang tepat.
Sementara kehangatan adalah satu-satunya performa yang boleh nampak.
Sekalipun di balik jubah melawan tirani, ada siksa dan duri yang tertancap menguji bertubi.

Karyamu adalah penggoda hasratku.. Dongengmu adalah animasi imajinasiku.. Dan impianmu adalah payung mimpiku..
Kadang begitulah perfeksi paling dramatis. Tapi seringkali, itulah alasan kita tidak boleh beristirahat sejenakpun.
Karena celah adalah jurang, dan jeda adalah sia-sia. 
Apapun yang dimulakan, harus terus menemukan cahaya terang di depannya.

Hey kamu baling baling terbaik, satu yang kupunya untuk membawaku pergi. Beranjak dari sekedar menunggu, berulah dari sekedar berandai.
Aku belajar mengejar ketertinggalanku, maka ikuti titian langkahku.
Jika cukup berani kamu menandingiku, maka kamu ciptakan juga sketsa untuk aku jadikan alas langkahku.

-Satu perjalanan di Kereta Ekonomi Bengawan dari Jogja ke Solo, 9 Oktober 2011 (satu hari sebelum tanggal setahun sejak 10-10-10)-

Api dan Siluet Mimpi



Na na na na na na na....
Aku berdiri
Sambil berkisah cerita
Tentang cinta
Arti sahabat terbaik

Aku tak bisa memulai
tanpa meminta
izinmu untuk aku
dapat memelukmu
lalu setelahnya kan kumulai

Cerita.. kisah.. dongeng..
aku inginkan kamu dengar
hey duduklah ke mari
Siapkan bantal nyamankan dirimu

Dahulu kala, aku sebatang kara
Lalu ku berjalan di satu hutan
Penuh oleh suara, tapi tak tahu darimana
Lalu ku langkahkan kaki semakin cepat
Aku ingat pertama kusadar, itu suara kicau

Lalu takjub ketika ku keluar semak hutan
Menemukan para muda mudi asyik memutari api
Mereka saling memejamkan mata
Bergantian saling berkisah tentang mimpi mereka
Aku tak sadar pun, ikut terduduk sambil terpejam

Dan hey sahabat, dan hey kekasih, dan hey saudara!
Tahukah apa yang aku temukan?
Api itu tiba-tiba mulai menari dalam imajinasiku
Sambil kudengar teliti apa mimpi-mimpi mereka
Ternyata inilah, luasnya dunia mimpi
Tidak ada dimensi karena setiap semestanya
Memiliki jiwa yang berwarna dan tidak terbelenggu

Sejenak kadang, kutemukan cahaya menerobos awan
Api di bawah menjulur seperti melepas siluet kosakata
Yah, mimpi kalian terlihat berserakan dimana--mana
Bahkan yang indah, karena kalian melingkari api itu
Mimpi kalian nampak saling berpelukan di atasnya
Membentuk rantai cantik seperti jalinan nyala api

Aku tak mau terjaga dan membuka mata
Duniaku tak sama tanpa kalian berkisah sambil mengelilingi api
Duniaku terlalu kecil untuk menyadari betapa tinggi api mampu menerabas
Dunia kalian, dunia yang paling menyala dan aku ingin berjalan di antaranya

by : wiedesignarch |  5 Oktober 2011

Dilema, dan Dia Pun Memilih



Jemari yang kurus itu memainkan tuts piano dengan agak gemetar
Tuts demi tuts berdenting menyaringkan suara menyampaikan nyawa
Ada bahasa yang sanggup mengungkap aib hati sang pemain piano itu
Nyata tampak begitu erat ia menutup matanya dengan jari terus berkisah

Bulu mata yang mengerjap itu perlahan basah
Bola mata yang gelisah di baliknya perlahan tak tampu menahan
Tangisnya pecah oleh denting nada dasar yang paling tinggi
Di sanalah ia berada di antara dua keputusan yang berbeda sama sekali

Dilema yang berteriak dalam nada-nada itu hendak dihempasnya jauh
Karenanya ia hanya ingin membunyikan nada-nada yang membuat dirinya semakin jauh
Ia seperti berlari terengah hingga terbanting keras oleh ranting yang tak juga melepaskannya
Ia menjauh, semakin berjuang keras menjauh dari pilihan yang ditemuinya sepintas lalu

Gadis itu letih, tertidur di atas pianonya...
Gadis itu menangis, terisak dalam mimpi tidurnya...
Gadis itu pasrah, tertutup wajahnya oleh ujung rambut hitamnya...
Gadis itu sangat ingin pergi dari raga yang memaksanya tetap berpijak...
Gadis itu...
Gadis yang akan memilih melepas semua
Bukan ia melepas karena enggan memilih
Namun hanya karena ia memilih memulai dari awal
Sambil berjanji, ia akan memilih yang terbaik 

by : wiedesignarch  |  5 Oktober 2011

Bukan Tanpa Belahan Jiwa

Jika gitar itu bisa bicara, tentu ia akan meminta sesiapapun menyentuhnya.
Jika gitar itu bisa memilih, tentu ia memilih untuk tidak sendirian di bangku itu.
Jika gitar itu bisa bercumbu, tentu ia takkan rela menghabiskan waktunya tanpa kasih.
Jika gitar itu memiliki rnh, tentu ia akan mengeluh karena disia-siakan.

Tapi sang gitar tak bergerak sedikitpun.
Ia hanya tersandar tegak di atas bangku.
Ia kusam oleh debu tebal menutupinya.
Ia berwarna pudar karena cahaya jendela di sebelahnya.

Gitar itu bukan tanpa sahabat dan belahan jiwa.
Gitar itu memberi nafas lebih panjang pada jiwa yang sekarat.
Gitar itu mengartikan lebih indah tentang emosi dan harapan pada jiwa pemimpi.
Gitar itu, paling setia menemani cinta bersemi hingga perpisahannya oleh maut.

by : wiedesignarch |  25 September 2011

Khayalan Tentang Hujan

Bingkai jendela pun semakin kentara kusamnya. Batu alam gelap warnanya, kontras terhadap bingkai kayu yang termakan rayap. Di balik teralis jendelanya, tersandar manis wajah seorang gadis kecil. Rambutnya ikal, kuncir dua yang tertiup angin. 


Gadis kecil itu rindu akan rintik hujan di luar. Ia berkhayal andai kakinya bisa menyusuri batuan taman itu satu-satu. Menggesek ujung-ujung rumput basahnya pada telapak kaki mungilnya. Ia ingin menjadi putri duyung yang rambutnya selalu basah oleh hujan. 

Gadis itu melepaskan pegangan jemarinya dari teralis. Menjulurkan tangannya di sela teralis. Di luar, air hujan setitik dua titik membasahi ujung jari kecilnya. Gadis kecil itu tersenyum, ini kenangan yang paling ingin direkamnya sekali lagi. 

Disana, di atas kursi rodanya ia berkhayal tentang hujan dan pantai. Di balik selimutnya, ia membayangkan kedua kakinya masih ada untuk diajak berlari.



by : wiedesignarch  |  25 September 2011

Melukis Malam dan Pantai



Malam dingin karena gelapnya tak bersuara. Aku terbaring bisu di tepi ranjang. Aku baru saja terjaga dari tidurku. Terbangun oleh suara derit bangku di sisi seberang ranjangku.

Di sudut sanalah aku melihat dalam kegelapan. Wanita yang kunikahi menarik bangku mendekati jendela kamar kami. Dibukanya tirai jendela kecil itu, lalu dibukanya pula daun jendela yang telah lama hampir rusak.

Wanita itu, berayun ujung rambutnya oleh angin yang menggodanya. Angin yang bisa kurasakan juga dinginnya dari balik selimutku. Aku memilih untuk diam saja, pura-pura masih tidur sambil mengamatinya mencumbu malam.

Wanitaku, yang hanya berbalut kain tipis itu kini tersenyum ke luar jendela. Sendirian di sana, seperti baru berjumpa teman-teman misteriusnya. Di jendela kecil yang usang itulah, ia menjadi kekasihku yang gemar melukis langit, bulan, dan pantai. Dia selalu berkata setelahnya dalam catatan hariannya, "Aku baru saja menemukan impian baruku lagi di pantai dan bertemankan purnama."

by : wiedesignarch  |  19 September 2011

Aku Menunggangi Angin

Sayap kukepakkan seolah bertarung. Beginilah cara yang aku banggakan tentang aku ini. Kadangkala kulatih cakar-cakarku dengan cengkeraman yang mantap. Mata kuedarkan mengelilingi cakrawala matahari terbit. Sungguh ini angin yang paling senang kulawan ketika terbang.

Andai kalian mengenal Talan, sang elang yang paling kuidolakan seumur hidupku. Kekuatannya yang mampu menyeberangi matahari dari segala penjuru, menjadikan aku tak pernah percaya akan batas apapun lagi. Dia mengajariku bahwa semesta ini ada untuk dijelajahi dengan rasa takut yang seperti apapun.

Ketika aku kini terbang kian rendah, kubiarkan paruhku sesekali menyentuh ujung air yang memantulkan bayanganku berlatar matahari terbit. Sungguh kesejukan singkat ini tak menjadikanku lupa. Perjalanan dan penerbanganku bukan tanpa rasa takut. Seringkali ketakutanku bahkan melebihi apa yang pernah kutantang. Tapi ketakutan itu seperti dentuman keras yang mencabut jantung, mendesakku untuk lebih berani selangkah mendekati mati.

Butiran salju keras seringkali membekukan mimpiku akan daratan hijau dan dahan yang nyaman. Namun aku selalu ingat ketika menemukannya suatu hari, aku merasa kehidupan tujuanku bukanlah di sana. Aku melawan angin, aku menunggangi angin, dan aku rela mati demi angin bebas ini.

by : wiedesignarch  |  18 September 2011

Meminta untuk Singgah

Jika aku hanya seorang pemuda yang mengagumi
Satu bidadari yang paling mengikat nurani dan nafasku
Bagaimanakah aku harus ungkapkan perasaanku dengan kata-kata
Untuk sampaikan betapa aku melihatmu berbeda dari sekedar indah

Apa yang harus aku umpamakan sebagai perlambang anggunmu?
Apakah itu adalah sayap bulu sang malaikat yang suci tanpa debu?
Apakah itu sisik ekor sang mermaid yang kilaunya bak mahkota?
Apakah itu adalah pendar cahaya sang peri yang terangnya berayun memabukkan hati?

Aku ingin bersyukur dan menikmati kala ini
Ketika kulihat matamu menghindari mataku dengan gerakan berdosa
Seberapa dalamkah aku bisa singgah dalam jiwa di balik matamu
Aku minta tolong izinkan aku pemuda yang memintamu...


by : wiedesignarch  |  18 September 2011

Melepas Batas

Aku melihat lagi kemilau cahaya. Pendarnya merah jingga, kilaunya menerbitkan damai. Aku melayang ringan. Tanganku berayun sambil sesekali terantuk dinding di sisi-sisi kamarku. Rambutku, panjang dan terurai menjuntai ke bawah.

Aku terus menengadah tinggi. Keningku sering terhembus angin, hingga poniku bergoyang antusias. Kadangkala, jemariku mengetuk sendiri memulai irama. Mataku berkedip sesekali menambah aksen untuk imajinasiku.

Aku tak menyentuh apapun kini. Dinding kamarku menghilang, ranjangku jauh terhempas. Mereka adalah batas yang pernah memeluk mimpi yang biasa saja. Kini langit-langitku hilang berganti bintang dan planet. Sekitarku, hanya ada suara, irama ramai, dan hembusan yang kadang mengejutkanku.

Di mana tubuhku berada? Aku tak begitu perduli. Tak perlu banyak kupikirkan. Ini bukan kesenangan atau hiburan. Ini kesembuhan yang paling aku rindukan, menguatkan pengenalanku akan bagaimana kabarku.

by : wiedesignarch  |  18 September 2011

Reruntuhan itu Indah




Attraversiamo : Mari Menyeberang.

Winda menatap kejauhan pada matahari senja. Ada yang hilang dari senja kali ini, seseorang yang pernah berarti untuknya, menemani hari-harinya.

Winda duduk di atas pasir yang kadang basah oleh buih halus. Winda meraih pasir dengan jemarinya, melihat pasir itu terlepas dari sela jari-jarinya yang menggenggam.

"Hancur," Winda mengamati pasir-pasir yang berjatuhan itu.
"Kehancuran seperti inilah yang melanda aku dan ceritaku sampai hari ini." Winda tersenyum merebahkan dirinya di atas pasir.

"Seseorang bilang padaku, kehancuran dan reruntuhan adalah indah."

Winda memejamkan matanya. Kali silam, ia baru menemui seseorang yang asing. Wanita cantik yang ditemuinya begitu sedih dan nampak amat kehilangan. Wanita itu tersenyum tulus ketika mengatakan bahwa kehancuran adalah awal yang indah. Meski jelas, tak ada yang mau mempercayai itu.

Winda ingat betapa wanita itu bisa saja benar. Apa yang tersisa kini dalam dirinya sendiri? Dia kehilangan segalanya, dia bahkan Berhenti merasakan banyak hal. Dia seperti mati rasa karena terlalu sering melewatkan makna hidupnya sendiri. Dia tidak pernah benar-benar bersungguh-sungguh lagi sejak dia bersenang-senang. Dia seperti terjebak pada kepuasan dan kesenangan yang salah. Semua jadi terasa salah karena tidak adanya keseimbangan yang dia peroleh. Winda kerap merasakan kehampaan dan rasa bersalah.

Kini Winda meyakini Altraversiamo. Dia putuskan menerima bahwa dunia dan impian di belakangnya telah runtuh. Hancur ber serakan tanpa mampu lagi dia menatapnya. Memaksa impian dan ada yang pernah ia miliki itu, hanya akan membuatnya lebihlama ada pada kubangan kehampaan. Dia letih, letih menatap kesalahan demi kesalahan yang tak sungguh-sungguh dia perbaiki. Mungkin memang iya, sesuatu tak ada yang abadi termasuk impiannya di belakang.

Winda menutup wajahnya dengan telapak tangan. Menutupi wajahnya dari sinar senja. Dia menangis, tiga titik air mata membentuk alur di sekitar matanya. Winda pasrah pada apa yang terjadi di masa kini. Masa dimana dia membiarkan semuanya lebih baik hancur. Winda telah memilih menghempas semua yg pernah membuatnya tergila-gila. Winda memilih meninggalkan semua.

"Tak apa jika kau patah hati," wanita sedih itu pernah berkata padanya. "Tak apa karena itu artinya kamu pernah berusaha demikian keras." Winda kini kian tersedu.
"Ketika kamu melihat semua yang ada sudah hancur dan runtuh, artinya kamu bertransformasi," ia melanjutkan.

Winda tergugah di tengah sedu sedan itu. Lalu mulai menatap senja dengan sedikit senyum ironi. Mungkin benar, bahwa manusia selalu berusaha keras memperjuangkan keinginannya karena masing-masing tak ingin hancur. Mereka berjuang keras sekali untuk mengenali transformasi yang sudah mutlak tidak akan berhenti sepanjang zaman.

Winda mengalah dan menerima ketidakabadian impian yang ia punya bersama seseorang. Winda paham, tak ada yang benar-benar abadi selain keluarga. Teman, kekasih, dan impian; mereka bisa saja meninggalkan dirinya tanpa menunggu waktu yang tepat.

Winda bangkit, berdiri, berjalan menyentuh air sampai selutut kakinya. Senja kini makin merah dan lebih menikam lagi kehilangan itu. Namun Winda takkan terlalu banyak berpikir lagi. Winda cuma tahu, ia telah menanggalkan semuanya. Menerima dirinya harus mulai dari awal.
"ATTRAVERSIAMO," Winda menutup matanya lalu tersenyum.

by: wiedesignarch |  15 September 2011

Usia 100 Tahun untuk Egois



Jika kita hidup hingga 1000 tahun, maka kita bisa menggunakan :

100 TAHUN UNTUK EGOIS

"Tak perduli orang lain, yang penting saya enak, yang penting saya mendapatkan apa yang saya mau. Jika ada yang bilang saya harusa sadar untuk berubah, maka akan saya bilang : "Gak papa, begini aja.. karena hidup saya masih 900 tahun lagi kok!"

=======================================

Hari mematikan video motivasi itu seraya merebahkan dirinya ke sofa hijau di apartemennya. Hari memainkan remote DVD Player seraya menikmati hening dan sunyi langit-langit kamarnya. Apartemen itu begitu sepi dan tak ada pandangan menarik selain kumpulan awan dan langit terik di luar jendela lantai 20.

Rasanya aku telah begitu dekat dengan langit, rasanya aku telah banyak mendapatkan kenyamanan langit dan sendiri. Hari mulai merangkai cerita mengukir sendunya menemani sunyi. 

Di ketinggian dan kesendirian cakrawala seperti ini, ternyata semakin menjauhkanku dari hiruk pikuk perjalanan. Aku semakin diam dalam hitungan meter persegi ku berjalan, duniaku semakin sempit oleh dinding-dinding yang membatasi. Aku semakin sulit berbaur dengan milik orang lain, sementara orang lain seperti tak perduli dengan sunyinya rumahku.

Hari bangkit berdiri, celana pendeknya tergerai di atas lutut kurusnya. Dia berjalan meraih gagang pintu geser di dekatnya. Berdiri keluar, meraih pegangan balkon apartemennya. Diedarkan pandangannya sedih ke arah bawah.

Kerdil sekali, kerdil sekali dunia di bawah sana. Mereka berlalu lalang dengan segala amanah tentang menjalani hari dan hidup. Di bawah sana begitu banyak emosi dan ketertarikan. Sedang aku di atas sini justru lebih dekat ke langit, tempat doa bermuara dengan tengadahnya kepala. Namun sepi di sini menghempaskanku bahwa setelah tanah, tubuh ini takkan bersama siapapun lagi. Tubuh ini sendiri dan lemah tanpa kemampuan menghentikan perputaran waktu meski kekerdilan semakin jauh dan bisa ditinggalkan di bawah sana.

Hari tertunduk perih, bukan karena galau atau sendiri lagi kini. Melainkan karena jantung yang ia miliki semakin terasa perlahan meninggalkannya juga. Hari, pemuda berkulit halus bersenyum pangeran. Namun jantungnya takkan mampu menyelamatkan dirinya dari ancaman sekarat. Hari memegang dadanya erat, sakit kesekian kalinya ini pasti bisa ditahan. Entah untuk berapa lama lagi Hari akan menjalani hari esok. Hari ada, di hari yang tak pasti akan ada lagi untuknya. Itulah mengapa, Hari tak bisa berkeinginan untuk egois. Hari tahu, harinya akan datang. Harinya akan ada untuk dia menjawab semua keinginannya di bumi. Hari...

by : wiedesignarch  |  13 September 2011

Kau Cantik Hari ini



Pagi begitu terik hingga mataku silau di balik jendela mobilku. Setelah dengan rapi kuparkirkan kendaraanku di tepian, aku lemaskan jemariku di atas setir. Dengan sedikit mengagumi panorama perumahan didepanku, aku bersandar santai di jok mobil merahku itu. 


Rumah berpagar hijau, dengan sebuah pohon rindang meneduhkan jalan di depannya. Aku ingat hari itu, pertama kalinya, aku masih pemuda dengan celana sobek. Di pagar itu, seorang pria menampar gadis berambut emas. Yah, setidaknya hari itu rambutmu seolah keemasan, dan matamu seperti permata safir. 

Aku dan celana rombengku tak sengaja mendapatkanmu begitu keras menantang tamparan tangan pria itu. Sementara sebagai anak mama di hari itu, aku meninju keras pria itu. Setidaknya, satu gigi seriku patah di ujung tempur. Tersenyum, aku ingat kini, aku beruntung di hari itu. Hari pertama kau membuka pagar rumahmu, memapahku masuk membersihkan luka. 

Hari ini pagar hijau itu terbuka. Bergegas aku turun dari mobilku. Perlahan, aku merekam langkah lambatmu menjauhi halamanmu. Ke arahku, kau tersenyum merapikan syalmu. Cantik, meski tanpa rambut keemasan itu. Penyakit parahmu, menghabiskan rambut indah itu, menampakkan kerut kulit pucatmu. Tapi senyum dan sorot menantang hidup dari matamu, tetap sebening safir. Dan seperti selama ini aku mengagumi perjuanganmu, kau cantik hari ini. Dan aku menyukaimu.

by : wiedesignarch |  3 September 2011

Apa Kabar Dia Untukku




Ada kebimbangan yang jenaka. Ketika kuraih gagang teleponku lalu kuletakkan lagi. Tak satupun angka yang kutekan yang seharusnya menuju kamu. Aku menutupi wajahku dengan ujung bantal, tapi tak juga hilang wajah yang masih sama.

Sepuluh menit berlalu, debaran tak ubah sedetikpun. Ranjang tak berderit seperti hampa. Tak beda, aku bertanya dan masih terus bertanya. Dalam hati yang tersipu tanpa tawa, aku tak henti bertanya.

Hai dinding, hai langit, hai pagi, katakan padanya apa kabar dia kini? Semalam aku datang padanya tanpa niat mendamba, tapi seepertinya matanya menjebakku penuh musllihat. Dia tak berhenti tanya kabarku semalam, menyusun harapan kian berjuntai. Kini aku kena racunnya, sibuk menjalani pagi tanpa ketenangan hati. Sibuk menghabiskan waktu, tanpa kejujuran sikap. Sibuk menulis surat, tanpa nama dan alamat penerima.

by : wiedesignarch |  1 September 2011

Kata yang Terpenggal




segala yang menjadikan emosi adalah keterkaitan dan keterhubungan...
setiap yang memiliki ungkapan adalah campuran rasa dan emosi...

Ketika perasaan terhubung menjadi begitu kuat karena harapanSelalu ada doa dan impian yang menjadikan keterkaitan itu terus menjulangKita membutuhkan seseorang atau sekumpulan orang untuk berkisahMembagi emosi menarik simpati dan membujuk kasih cinta

Ketika ungkapan serasa dekat di ujung lidah
Terbentur rasa takut terhanyut ragu dan galau
Namun emosi terlanjur bersenyawa dalam nuansa
Memang kata adalah cara terbaik untuk menyampaikan

Membelai bahumu, mengecup rambutmu...Selalu diam tak perlu merangkai kata...Pada akhirnya kata itu terpotong satu-satu..Runtuh dari bahasa ibu, namun tetap insting manusia yang menterjemahkan sendiri...

by : wiedesignarch |  29 Agustus 2011

Tak Berubah




Kalimat yang kuucapkan mungkin berulang...
Dialog yang kucipta mungkin tak berubah...
Selesai berkata, saat setelahnya ku menelan semua...
Lagi-lagi sama tak berganti apa pun...

Watak dan tabiat memapah singgasana...Ruas cerita seperti tak mendewasakan...Lenguhnya tetap sama, seperti teriak bosan...Tapi rusuk ini tak jua menengadah ke arah benar...

Sepertinya hantaman keras memang patut dirindu...
Ketika kemenangan terlalu lama bersemayam...
Ada kemalasan dan ada keterpesonaan...
Sungguh semu menjadi sahabat dan dewa semata...

Lebih memaki ketika diri tak bisa melawan...Seperti menjadi abu karena api kesetanan...Terus melebur dalam lautan pasir panas...Kemana berpijak, dia begitu perih dan sakit
 by : wiedesignarch || 16 Juni 2011

Monday 12 September 2011

Kita Mesti Telanjang



Aku meraih buku catatan warna merahku dari bawah bantal. Perutku seperti mendadak perih dan aku terduduk di lantai sebelah ranjangku. Kubuka lembaran catatan buku itu. Halaman pertama, air mataku berderai satu. Aku duduk seperti posisi berdoa di lantai. Tanganku masih lemah meraba tulisan catatan di atas ranjang. 

"Dalam kekalutan.. Masih banyak tangan yang tega berbuat nista"

Ujung jariku berhenti pada satu baris itu kini. Sakit yang semula terasa biasa, kini terasa sesak di dada. Dengan waktu yang telah aku jalani, akhirnya aku harus menyadari bahwa aku mendustai diriku sendiri. Satu air mataku itu menetes di catatan. Aku telusuri basahnya dengan ujung jariku pelan. Basahnya jatuh di baris tengah : 

"Kemanakah lagi, kita akan sembunyi." mataku bergerak ke baris lainnya "Tak ada yang bakal bisa menjawab". Bibirku basah dan kerongkonganku mulai terasa sakit. 

Aku bertanya apa gerangan yang menggelayuti fikiranku kini. Seperti ingin mengatakan kesia-siaan dan kebosanan belaka. Apakah aku mulai dikutuk dengan keputusasaan? Aku mulai menutup catatan itu dan menidurkan keningku di atas ranjang. Lantai masih terasa dingin di lututku, tapi aku masih enggan berbaring. Akhirnya aku mulai berdialog pada hatiku sendiri. Gerangan apa yang menggerogotiku di teriknya hari ini. Udara panas di luar. Deburan ombak pantai di kejauhan. Dan semilir meniup pohon kelapa di pelupuk atap rumah. Sementara ranjangku begitu sesak oleh perasaan bersalah dan mengeluh.

Jika dialog hati kuteruskan, akhirnya aku putuskan untuk diam sejenak tanpa merubah posisiku. Kubiarkan semua kram kaki dan sesaknya dada mendesak kritis pertanyaan-pertanyaanku. Apa yang sedang aku perbuat sekarang? apakah aku mengeluh? apakah semua yang sudah diperbuat adalah sia semata?

Aku pejamkan mataku dengan aroma apek sprei ranjangku yang semakin menusuk. Aku merasa sia-sia, ternyata bukan karena aku telah menyia-nyiakan mimpi dan impianku. Bukan juga karena aku tak percaya pada kemampuan dan imajinasi yang aku punya. Melainkan karena aku telah menjalani waktu yang aku punya dengan terlalu banyak kehilangan. Aku telah terlalu banyak kehilangan karena melewatkan waktu-waktu yang seharusnya bisa kuisi dengan lebih berani. Berani kecewa, berani merasa sakit, berani merasa kalah. Terlalu mulus jalan yang pernah aku pilih sebelum ini. Kemulusan ini meresahkanku, dan kenyamanan ini semakin menakutkanku.

Apa yang salah dengan menjadi telanjang? apa yang salah dengan menjadi hinaan dan cemoohan? sementara mimpi adalah sahabat orang-orang yang jatuh. Mimpi adalah dekat bila mereka berani menemukan jalan buntu. Aku bertaruh, terlalu banyak jalan buntu yang aku lewatkan. Sementara aku sempat lupa, jalan buntu mampu menguatkan langkahku, jalan berlubang mampu mengobarkan pendewasaanku, jalan gelap sekalipun mampu menjadikan aku melihat lebih banyak.

"Dalam kekalutan.. Masih banyak tangan yang tega berbuat nista"

Bahkan dalam menghidupi nyawa diri sendiri, kelalaian dan kemalasan kita sendiri pun bisa hadir secara tak sadar. Lewat pembelaan dan bantahan, lewat pembenaran dan alasan, kita terlalu banyak menghalalkan diri dengan ketidakberdayaan. Merasa tak sanggup padahal belum mencoba, merasa tak sempat padahal malas berfikir ulang, merasa tak perduli padahal kita sebenarnya ingin memperbaiki banyak hal tentang diri kita. Kenistaan dan ilusi, seperti semakin kentara dalam definisi menjalani hidup. Rasanya seperti dihempas, dan diberitahu, bahwa memang bumi beserta isinya ini hanya ilusi yang tak kekal.

Dalam keletihan dan kemarahan yang sangat, aku membuka lagi lembar catatan buku merahku itu. mataku kini bertumbuk pada kalimat paling pendek.

"adalah DIA di atas segalanya"

Aku terkejut membacanya. Seperti siraman sejuk yang aneh tapi mampu menguatkan tengkuk leherku menengadah. Aku edarkan pandanganku dengan cepat ke seluruh kamarku. Satu hal, entah bagaimana datangnya kekuatan yang menggerakkan arah mataku, satu hal yang kucari-cari. Dan di sanalah dia, sebuah kitab bersampul hijau dan kuning keemasan. Biarlah mereka menulis ironi tentang dosa. Biarlah mereka mengucap ironi tentang ampunan. Tapi kini, aku tahu juga. Aku tak mengenal diriku lebih baik dari siapapun. Bahkan tanpa sadar, aku masih terseok di dalam tubuhku sendiri.

Tuesday 23 August 2011

Start!

Tak banyak orang mampu untuk melihat apa yang dia "miliki" dalam dirinya.
Tak sedikit pula yang mengeluh bahwa dirinya tak memiliki apa-apa.
Andai saja setiap orang mau untuk berdialog dengan dirinya sendiri, pastilah dia akan mengetahui siapa dia sebenarnya, apa yang dia miliki dan apa yang harus dilakukan dengan kemampuannya itu.

Setiap orang memiliki kaki.
Setiap orang mampu melangkahkannya.
Tapi tidak semua orang berani melangkah dengan tepat.
Sebenarnya, untuk melangkah anya dibutuhkan keberanian serta kekuatan tekad yang tahan banting juga kebal seperti baja.

:: The First Step ::